Biru yang Berulang Kali

 Ada malam – malam saat aku tetap terjaga karena isi kepala dipenuhi pikiran – pikiran tak pasti, berisik, seperti gemuruh ombak yang menghantam bibir pantai. Mungkin karena sudah hampir 4 pekan, aku tidak mencium aroma asin laut, mendengar riuh gelombang, melihat hamparan langit dan laut yang biru. Ah, biru yang berulang kali ada dalam sejauh pandanganku, biru untuk yang jauh.

 


Biru yang Berulang Kali

 

Pada biru

Tanpanya, aku hanya langit kosong

Tanpanya, kau hanya laut tanpa kedalaman

 

Langit, Laut, tapi  tidak pernah

Benar – benar, bersatu

Samar, beriringan, tapi tidak pernah

Benar – benar, memadu

 

Tetapi bukankah kita seperti ini?

Berkatmu, langitku mengandung hujan

Berkatku, lautmu mengecap rasa tawar

 

Pada petang

Di mana kita sama – sama hilang pandang

Di mana kita sama – sama mengabur

Aku tak tahu, di mana aku berakhir

Kau  tak tahu, di mana kau bermula

 

Pada sinar bulan

Yang aku kirimkan dalam  diam

Karena aku tak ingin menunggu esok

Untuk dapat melihatmu

Yang kau terima dalam diam

Karena kau tak ingin berkesudahan

Untuk dapat merengkuhku

 

Pada biru

Aku tidak pernah bertanya bagaimana mulanya

Kau tidak pernah bertanya bagaimana akhirnya

Kita hanya biru yang membiru

Pada cahaya yang terulang

 

Sekali saja

Kau dan aku

Dalam terang dan gelap

Dalam pasang dan surut

Dalam rendah dan tinggi

Dalam biru dan membiru

Aku dan kau

Berkali – kali

 


(Surakarta, 10/03/2025, 02:10)


Biasanya aku hanya akan menulis apapun yang terlintas dipikiranku, tanpa ingin menjelaskan apapun, namun entah mengapa rasanya pada malam ini aku begitu ingin menginterpretasikan bait per bait puisi yang aku tulis.

 

1. Pembuka: Identitas Biru yang Mengikat

"Pada biru
Tanpanya, aku hanya langit kosong
Tanpanya, kau hanya laut tanpa kedalaman"

Bait ini memperkenalkan "biru" sebagai pengikat utama antara langit dan laut. Tanpa warna biru, langit menjadi hampa, dan laut kehilangan maknanya. Ini bisa dimaknai sebagai ketergantungan emosional—tanpa satu sama lain, keduanya kehilangan substansinya.

Penggunaan “Pada biru” sebagai pembuka menciptakan struktur siklus yang akan diulang nanti, memperkuat efek repetisi dalam puisi. Konsep ketiadaan sebagai lawan dari keberadaan diperkuat dengan "tanpanya" yang diulang dua kali, menekankan hubungan simbiotik.

 

2. Relasi Langit dan Laut: Kebersamaan Tanpa Penyatuan

"Langit, Laut, tapi tidak pernah
Benar – benar, bersatu
Samar, beriringan, tapi tidak pernah
Benar – benar, memadu"

Langit dan laut selalu berdampingan, tapi tidak pernah benar-benar menyatu. Di sini aku ingin menggambarkan hubungan yang dekat, tapi tetap terpisah—mirip dengan cinta yang saling bergantung tapi tidak bisa bersatu sepenuhnya.

Pengulangan "benar-benar" memperkuat ironi bahwa meskipun dekat, mereka tetap terpisah. Kontras "samar" dan "beriringan" menciptakan kesan relasi yang tak berujung.

 

3. Saling Melengkapi Tapi Tetap Terpisah

"Tetapi bukankah kita seperti ini?
Berkatmu, langitku mengandung hujan
Berkatku, lautmu mengecap rasa tawar"

Hubungan langit dan laut menjadi metafora keharmonisan yang paradoks. Langit memberi hujan kepada laut, laut memberi kelembutan kepada langit. Mereka saling mempengaruhi, tapi tidak bisa menyatu dalam satu bentuk.

Tanya retoris ("Bukankah kita seperti ini?") membuat pembaca berpikir tentang hubungan mereka sendiri. Struktur "Berkatmu… Berkatku…" menciptakan keseimbangan dalam narasi, memperjelas hubungan timbal balik.

 

4. Petang: Fase Ilusi Kebersamaan

"Pada petang
Di mana kita sama – sama hilang pandang
Di mana kita sama – sama mengabur
Aku tak tahu, di mana aku berakhir
Kau tak tahu, di mana kau bermula"

Saat petang, batas langit dan laut memudar, menciptakan kesan persatuan yang semu. Namun, ironinya, justru saat terlihat menyatu, mereka kehilangan identitasnya. Ini bisa dimaknai sebagai hubungan yang terasa utuh, tapi sebenarnya kehilangan bentuknya sendiri.

"Hilang pandang" dan "mengabur" menciptakan gambaran visual yang kuat tentang batas yang samar. Diksi "aku tak tahu... kau tak tahu..." mencerminkan kehilangan jati diri dalam keterikatan.

 

5. Cahaya Bulan: Kerinduan yang Tersembunyi

"Pada sinar bulan
Yang aku kirimkan dalam diam
Karena aku tak ingin menunggu esok
Untuk dapat melihatmu
Yang kau terima dalam diam
Karena kau tak ingin berkesudahan
Untuk dapat merengkuhku"

Bulan menjadi simbol harapan rahasia, sebuah upaya. Langit mengirimkan cahayanya dalam diam, laut menerimanya dalam diam. Ini menggambarkan cinta yang tak terucapkan, keinginan untuk tetap terhubung meski hanya dalam bayangan.

Penggunaan kata "dalam diam" dua kali memperkuat makna komunikasi yang tidak tersampaikan secara langsung. Kontras antara "aku tak ingin menunggu esok" dan "kau tak ingin berkesudahan" menampilkan perbedaan perspektif dalam hubungan ini: satu takut kehilangan momen, satu takut kehilangan selamanya.

 

6. Siklus yang Tak Terelakkan

"Pada biru
Aku tidak pernah bertanya bagaimana mulanya
Kau tidak pernah bertanya bagaimana akhirnya
Kita hanya biru yang membiru
Pada cahaya yang terulang"

Hubungan mereka tidak pernah dipertanyakan—ia terus berulang seperti siklus alam. Ini memperkuat konsep bahwa meskipun mereka tidak bisa bersatu, mereka akan selalu kembali satu sama lain.

Kalimat "Biru yang membiru" memperkuat efek siklus, menggambarkan kesinambungan tanpa akhir. Sedangkan kalimat "Pada cahaya yang terulang" menegaskan bahwa ini bukan hanya tentang hubungan mereka, tetapi tentang takdir yang terus mengulang.

 

7. Kesimpulan: Pengulangan Takdir

"Sekali saja
Kau dan aku
Dalam terang dan gelap
Dalam pasang dan surut
Dalam rendah dan tinggi
Dalam biru dan membiru
Aku dan kau
Berkali – kali"

Hubungan langit dan laut bukan hanya terjadi sekali, tetapi berulang sepanjang waktu. Meskipun berbeda dan terpisah, mereka selalu kembali dalam harmoni yang tidak sempurna tapi tetap nyata.

Penggunaan antitesis ("terang dan gelap", "pasang dan surut") menegaskan dualitas dalam hubungan ini. Struktur berulang ("Kau dan aku" – "Aku dan kau") menciptakan efek melingkar, memperkuat bahwa kisah ini tidak memiliki awal atau akhir, hanya siklus.

 

Pada akhirnya semua yang aku tulis pada tengah malam menjelang pagi ini adalah tentang siklus suatu hubungan yang ditandai dengan dimulai dan diakhiri dengan "biru", menciptakan ilusi bahwa kisahnya tak pernah benar-benar berakhir. Dalam tulisan ini, aku juga menggunakan diksi yang cukup halus seperti "hilang pandang", "mengabur", "dalam diam" menciptakan suasana melankolis dan misterius.Aku juga ingin menggambarkan Konsep Cinta yang Tidak Bisa Bersatu  dengan penggunaan metafora langit dan laut bukan sekadar klise, tapi digarap dengan kedalaman dan dinamika hubungan yang lebih kompleks. Selain itu ada pengulangan sebagai teknik puitis dengan frasa yang berulang seperti "benar-benar", "dalam diam", "biru dan membiru" menegaskan makna emosional dan resonansi tematik puisi ini. Aku rasa ini bukan hanya puisi tentang langit dan laut—ini tentang keterikatan yang abadi tapi mustahil, tentang cinta yang tidak bisa bersatu tapi juga tidak bisa berpisah.

Comments

Popular Posts